Jumat, 10 Oktober 2008

BENARKAH
INSTRUKSI, JUKLAK, DAN JUKNIS
(IJJ) PEDOMAN MEMATIKAN
KREATIFITAS GURU?
By: Asri Djalil, S.Pd

Masih terbayang dalam ingatan penulis (hari, minggu, dan bulan) pertama menjadi guru di salah satu SMA di Kabupaten Donggala. Tepatnya di SMA Negeri Tompe. Saat itu pula aktifitas sebagai guru dilaksanakan. Sampai saat ini di SMA Negeri 5 Palu. Aktifitas guru diemban hingga saat ini, sebagai sebuah rutinitas mengasyikkan, membanggakan dan membahagiakan. Betapa tidak, berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan penson dengan karakter dan kemampuan beragam membuat penulis mendapatkan sesuatu yang luar biasa nilai dan manfaatnya.

Di balik keluarbiasaan itu, penulis mengalami keadaan yang juga dialami oleh sebagian besar guru. Keadaan yang dimaksud adalah keterikatan dan ketergantungan pada yang namanya instruksi, juklak dan juknis (IJJ) dari atasan langsung. Atasan langsung yang dimaksud adalah kepala sekolah, dan kepala sekolah pun tergantung pada atasan langsungnya, begitu pula atasan langsungnya tersebut. Keterikatan dan ketergantungan yang menjadi matarantai panjang sebuah sistem, hingga sampai pada personil terdepan yaitu para guru yang mengelola pembelajaran. Keterikatan dan ketergantungan guru pada peraturan-peraturan yang tidak seharusnya mengikat hingga guru tidak dapat berkreasi karena terpasung dengan IJJ. Keadaan tersebut berlaku cukup lama.
Karena cukup lamanya terikat dan tergantung pada IJJ, sebagian besar guru menjadi susah keluar dari pasungan tersebut. Keidaksanggupan lepas dari pasungan tersebut inilah yang saat ini menjadi tanda tanya besar. Mengapa belum bisa lepas?
Melalui tulisan ini penulis mengetengahkan hasil pemotretan sesaat (snap shot) ungkapkan rekan-rekan guru dalam beberapa sisi pandangan. Pertama, pandangan yang justru senang dengan IJJ. Mereka mengatakan, ”Kalau ada IJJ kita guru jadi enak, tidak perlu disibukkan lagi dengan merancang sendiri, dan berlatih untuk menerapkannya. Mengapa cari-cari kesibukan, sudah ada yang jadi, ya dipakai saja”. Kedua, pandangan yang ingin keluar dari pasungan IJJ tetapi tidak punya kesanggupan keluar, karena keterbatasan kemampuan. Akhirnya kembali juga kekubangan awal. Salah seorang mengatakan, “Saya tidak dapat melakukan sesuai apa yang sudah ada. Masalahnya kurang cocok diterapkan di kelas saya”. Ketiga, pandangan mereka yang telah mencoba mengurangi rasa terikat dan tergantung. Tetapi akhirnya mengalami kesulitan, kemudian terpaksa meminta petunjuk kepada orang lain. ”Mohon petujuk agar bisa berbuat lebih baik”. Keempat, pandangan orang berjiwa besar untuk tidak terikat dan tergantung IJJ. Mereka mengatakan, “Kalau dari IJJ tidak dapat diterapkan, mengapa harus diadopsi. Bukankah profesi kita, profesi yang bisa berkembang sesuai kebutuhan yang ada di masyarakat? Apa salahnya merancang sendiri sesuai kebutuhan kita. Dan tentunya IJJ dijadikan sebagai pijakan untuk berkreasi”.
Penulis yang juga seorang guru mengalami semua cara tersebut. Tetapi kini mulai/sedang mencoba cara keempat.
Kurikulum berbasis kompetensi yang diarahkan pada kurikulum tingkat satuan pendidikn (KTSP) menjadi dasar untuk berkreasi. Di dalam KTSP, pihak sekolah berkewajiban merancang sendiri kurikulum sesuai kebutuhan sekolah, mengacu pada kurikulum nasional untuk menentukan standar minimal yang harus dicapai. Para guru yang berpengalaman dengan menerima masukan guru lainya, duduk bersama merancang kurikulum sekolah teresebut bersama stake holder dalam bentuk work shop. Inilah yang dijadikan landasan pijak untuk berkreasi saat ini.
Bedasarkan pandangan- pandangan tersebut, benarkah instruksi, juklak, dan juknis (IJJ) menjadi pedoman yang mematikan kreatifitas guru? Jawabanya beragam. Ada guru yang setuju IJJ diikuti. Tetapi dengan jawaban itu, terlihat jelas belang guru. Ia adalah figur yang mati kretifitasnya. Ada pula guru, berada antara ya dan tidak, guru seperti ini adalah guru yang belum mampu berkresi, karena harus memohon petunjuk terlebih dahulu. Ada yang mengatakan dengan tegas kalau diharuskan mengikuti IJJ itu sama dengan mematikan kreatifitas guru.





Jika kreatifitas guru belum atau tidak ada, maka muncullah golongan guru “mohon petujuk”. Ada petunjuk barulah dapat berbuat. Dan jika demikian sikap dan kemampuan guru, imbasnya kualitas pendidikan tidak dapat ditingkatkan. Out put/ lulusan sekolah kita adalah juga lulusan yang hanya mampu menunggu uluran tangan orang untuk membantunya. Hal ini, terbukti benar. Hanya sekian persen saja yang bisa lanjut kependidikan lebih tinggi, begitu pula yang terserap menjadi pegawai/ karyawan baik negeri maupun swasta jumlahnya kecil, itupun telah dijembatani orang lain. Ketika menjadi pekerja, nanti ada perintah diikuti petunjuk baru dapat bekerja. Hasil kerja pun kualitasnya rendah dan tidak mempelihatkan adanya inovasi. Itulah yang terjadi saat ini di negeri ini.
Pembelajaran yang diterapkan dengan berpatokan pada pandangan pertama, kedua dan ketiga adalah pembelajaran mengikuti detail-detail perilaku dan langkah-langkah jelas dan relatif pasti sesuai petunjuk, pembelajaran model ini menghasilakan output yang distandardisasikan. Pembelajaran model ini oleh (Zamroni, 2001) menyebutnya sebagai Hard Profession. Gurunya terikat dan tergantung pada IJJ.
Membelajarkan anak didik adalah seni mentransfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan. Anak didik harus dipandang sebagai mahluk yang memiliki sejumlah pengetahuan dan ketrampilan dan unik.
Untuk itu guru harus mempunyai kebebasan mengembangkan susana bebas bagi anak didik untuk mengkaji apa yang menarik, mengekspresikan ide-ide dan kreatifitas mereka. Untuk itulah guru harus menjadi model bagi anak didiknya.
Pembelajaran yang menghendaki terciptanya suasana bebas dan menarik, dapat mentranfer pengetahuan dan ketrampilan dengan lancar, maka guru paling tidak senantiasa melakukan tiga hal: a) memicu, memacu dan menggabungkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak didik; b) menjadikan apa yang ditransfer sebagai sesuatu yang menantang dan menarik sehingga muncul intrinsic-motivation untuk mempelajarinya; dan, c) mengkaji secara mendalam materi yang ditransfer sehingga menimbulkan keterkaitan dengan pengetahuan lain yang mungkin bisa ditemukan di tengah masyarakat kelak. Pembelajaran yang seperti ini adalah pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan prinsif kebebasan bernilai edukaif, tidak harus mengikuti suatu prosedur baku dalam detail langkah-langkah. Pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang memiliki “sense” dan “art”. Sense dan art memegang peranan amat penting dalam rangka pencapaian tujuan. Pembelajaran model ini oleh (Zamroni, 2001) menyebutnya sebagai Soft Profession.
Guru yang mampu melaksakan pembelajara model soft profession adalah guru yang memahami dan menyadari posisinya sebagi guru dan sebagai pendidik. Memiliki multi peran sehingga mampu menciptakan kondisi belajar efektif. Ia tidak terpasung lagi dengan IJJ, tetapi bukan berari mengabaikannya. Perlu diketahui instruksi, juklak dan juknis bukanlah kitap suci, tetapi dapat dijadikan batu loncatan untuk membangun kemampuan berkreasi. Terkecuali oleh atasan langsung guru, atasan langsung dari atasan langsung guru terus katas, menghendaki dan mengharuskan seluruh guru untuk tunduk patuh dengan IJJ-nya, itu barulah dapat dikatakan mematikan kretifitas guru.
Namun kenyataannya hingga saat ini masih ada yang senang melaksanakan tugas pembelajaran dan pendidikan berpedoman pada apa yang telah jadi sebagai produk atasannya berupa IJJ tersebut. Dengan demikian tidak ada yang bisa dikambing hitamkan dalam persoalan hadirnya isntruksi, juklak, dan juknis dalam pendidikan kita.
Di tangan kepala sekolah dan guru IJJ itu bisa menjadi pedoman yang bermanfaat. Dengan ketentuan IJJ harus dipelajari sehingga diperoleh benang merahnya/ruhnya untuk dijadikan pangkal bergerak maju sesuai kebutuhan sekolahnya. Ini dimaksudkan agar standar nasional pendidikan tetap sebagai sasaran akhirnya.
Bagi para pengambil keputusan dan penentu kebijakkan, janganlah IJJ dijadikan sebagi alat satu-satunya sebagai pengontrol kami (guru) dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Berilah kami kebebasan berkresi membangun piramida pendidikan kita di Sulawesi Tengah ini. Jadikanlah pendidikan kita sebagai pondasi kokoh negeri ini dalam rangka mengejar ketertinggalan yang cukup jauh. Terutama tingkat kemampuan sumberdaya manusia yang hanya dapat berbuat kalau ada penunjuk yang jelas. Janganlah muncul kembali ungkapan “mohon petunjuk-mohon petunjuk”. Kretif, inovatif, berdaya saing itulah dambaan para guru untuk generasinya mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Informasi Pilihan Identitas Jika Berkomentar:

Google/Blogger: Khusus yang punya Account Blogger.
Wordpress : Blog degan account wordpress
Name/URL : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonymous : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda.

AssaLamu'alaikum wr. wr. ^^^WelcoMe to my spicE^^^