Jumat, 10 Oktober 2008

"Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis, Sejenis Penyakit Berbahaya"

By: Asri Djalil, S.Pd
Jawaban lirih dan sedih atas sebuah pertanyaan. “Benarkah kini bangsa kita telah rabun membaca dan lumpuh menulis?”. Itulah pertanyaan yang saat ini sangat tepat dilontarkan sekaligus harus dijawab sendiri. Kita mungkin tidak menerima bila ada yang mengatakan “kerabunan dan kebutaan kita dalam membaca dan menulis selama 57 tahun telah membuat penghuni bangsa ini berada di pinggiran peradaban kesejagatan. Sangat jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Ketertinggalan dan keterbelakangan inilah yang harus kita disikapi secara posif dengan memulai mencari akar penyebabnya, lalu berbuat tepat dan pasti walaupun harus perlahan.

Potret bangsa kita kini yang tertinggal dan terbelakang bila ditatap dari negeri lain, nampak jelas sebagai sebuah gambar kusam yang tidak terlalu berarti. Berarti tapi hanya ditatap sebelah mata, sebab hanya berarti bila mereka (bangsa lain) ingin menjadikan bangsa ini sebagi pasar dan sebagai pembuangan akhir barang-barang bekas dan sampah mereka. Mengapa demikian? Ternyata salah satu akar penyebabnya adalah rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita. Rendahnya SDM kita sebagai imbas terakhir dari menipisnya budaya baca dan terabaikannya budaya menulis yang terlalu lama. Sementara bangsa-bangsa besar yang telah maju dan bangsa lain yang tengah melejit maju, budaya baca tulis memang sudah berurat akar pada sebagian besar masyarakatnya. Baca tulis agaknya menjadi keharusan yang tak bisa mereka abaikan.
Negara paman sam (USA), dan sebelas negara lainnya, berdasarkan hasil pemotretan sesaat (snapshot) oleh Taufik Ismail, ternyata membaca dan menulis telah menjadi santapan harian mereka. Aktifitas membaca buku secara intensif ditanamkan sejak SMA. Budaya yang telah menjadi kewajiban ketika SMA tersebut berlaku untuk bacaan karya sastra, buku ilmu social dan sains. Membaca karya sastra dimaksudkan untuk mematangkan Emosional Quotient (EQ). Membaca buku ilmu social dimaksudkan untuk kematangan Intelektual Quotient (IQ) dan Spiritual Quotient (SQ), Dan membaca buku sains dimaksudkan untuk kematangan Intelektual Quotient (IQ). Kewajiban membaca tersebut tidak hanya sebatas membaca saja, melainkan dilanjutkan dengan mengulasnya/ menganlisisnya melalui tulisan-tulisan para siswa lalu mempresentasekannya di depan siswa lainnya.
SMA-SMA Indonesia umumnya dan Sulawesi Tengah khususnya, kegiatan membaca intensif dan menulis yang bersifat ilmiah, belum dapat dilaksanakan secara terprogram. Kegiatan membaca memang ada tapi hanya sebatas membaca ketika pembelajaran berlangsung, itupun hanya sesaat untuk kepentingan pembelajaran saat itu. Lebih-lebih lagi untuk menulis. Jangankan untuk menulis ilmiah, menulis kalimat-kalimat untuk catatan selama proses pembelajaranpun masih ada siswa yang memilih tidak mencatat. Kecuali ada perintah untuk mencatat atau didahului dengan mencatat lalu guru memberi penjelasan dari apa yang dicatat. Pada pembelajaran bahasa Indonesia memang dilakukan, tetapi belum maksimal. Itulah sebabnya siswa tamatan SMA kita kurang mampu membaca lebih-lebih dalam menulis. Jika ada tamatan SMA kita yang ternyata mampu menulis, itu satu kekecualian. Bukan karena titempah dan dilatih khusus, tapi memang ia berbakat dan memiliki kemampuan yang tumbuh atas dorongan dari dalam dirinya sendiri diluar proses pembelajaran.
Jangankan siswa, para guru pun masih banyak yang memandang bahwa komunikasi ferbal dan komunikasi tulis hanya sebagai sebuah jembatan transformasi pengetahuan antara guru dengan siswanya. Kaidah dan logika bagi mereka tidak menjadi hal yang penting. Itulah sebabnya guru belum mampu memberi ruang dan waktu bagi sebagian besar siswa untuk meperoleh kesenangan selama proses pembelajaran.







Sering kita jumpai orang yang tidak bisa menanggkap isi pembicaraan orang lain, istilah anak sekarang tidak konek. Begitu pula dalam berbicara, masih ada yang ingin menyampaikan ide sebesar kutu dengan kalimat-kalimat sebesar gajah, sebaliknya ada yang ingin menyampaikan hal sekilometer dengan kata-kata sejengkal.
Dalam membacapun terjadi kegagalan yang sangat-sangat fatal. Membaca adalah kegiatan yang telah berlangsung lama bagi setiap anak yang duduk di bangku sekolah, sejak ia masuk SD sampai SMA. Anehnya sudah SMA ketika ditanyakan hal-hal berkaitan dengan wacana yang telah dibaca, ternyata masih banyak siswa yang tidak mampu menjawab benar. Contoh nyata, ketika ujian nasional untuk pelajaran bahasa Indonesia, soal yang berkaitan dengan wacana atau sebuah paragraf, selalu banyak yang menjawab salah.
Kenyataan tersebut perlu dicermati dan ditindaklanjuti dengan sebuah gerakan yang harus dimulai oleh para guru. Sudah saatnya kewajiban membaca buku-buku bermutu dan menulis yang bernilai ilmiah dilakukan oleh para guru (bukan hanya guru bahasa Indonesia). Demikian akan lebih mudah para guru memberi tugas kepada siswanya, karena ia telah melakukan terlebih dahulu. Bukankah seorang guru adalah contoh dan panutan siswanya? Guru kencing berdiri, murid kencing berlalri. Janganlah peribahasa tersebut terjadi saat ini. Melainkan menjadilah guru profesional yang memiliki kematangan IQ, EQ, dan SQ. Sehingga guru yang pantas menjadi suluh penerang bangsa dan wajar dijadikan panutan atau yang digugu.
Mampukah kita sebagai guru menjadi pendidik yang dapat dipanuti dan dicontoh siswa-siswa kita dalam hal membaca dan menulis? Jawabannya harus mampu, dan mulilah sekarang disini di Harian Radar Sulteng.
Mengapa penulis menjadikan Radar Sulteng sebagai awal dari keharusan tersebut? Kemarin kita beralasan, tidak ada dana yang bisa dikhususkan untuk membeli buku, sehingga kurang bahkan tidak sama sekali untuk membaca, tapi saat ini telah banyak buku yang diperjual belikan dengan harga yang terjangkau. Selain itu Koran Radar Sulteng adalah salah satu dari sekian solusi untuk mengatasi kerbatasan bahan bacaan. Sekaligus menjadi jembatan terbaik untuk memulai menulis, dengan digelarnya iven penulisan artikel bagi para guru dan siswa.
Penulis menganggap lomba ini merupakan ajang unjuk kreatifitas guru dalam menulis berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan. Kita mulai menulis berarti kita telah mencoba keluar dari kungkungan penyakit menular yang berkepanjangan. Penyakit buta membaca dan lumpuh menulis. Jangan sampai tertular lagi pada generasi muda kita. Jika generasi muda kita tertular, maka akan terjadi ketidakberdayaan kita di era kesejagatan yang telah ada di tengah-tengah kebutaan dan kelumpuan kita saat ini.
Kita tak akan berdaya dan tak akan punya upaya, bila membaca dan menulis belum membudaya. Jadilah guru berwawasan luas, dengan kematangan emosi yang tinggi, dan dengan kematangan spiritual yang membumi. Sehingga kerabunan kita dalam membaca perlahan dapat disembuhkan, begitu pula kelumpuan kita dalam menulis. Radar Sulteng sebagai sulusi awal yang mampu menjembatani para guru dalam membaca dan menulis yang bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Informasi Pilihan Identitas Jika Berkomentar:

Google/Blogger: Khusus yang punya Account Blogger.
Wordpress : Blog degan account wordpress
Name/URL : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonymous : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda.

AssaLamu'alaikum wr. wr. ^^^WelcoMe to my spicE^^^